Bulan November-Februari adalah bulan paceklik bagi nelayan di Kepulauan Seribu. Saat angin barat bertiup, nelayan akan menambatkan perahunya kencang-kencang. Kalau tidak, perahu mereka akan terbawa angin kencang atau gelombang tinggi yang bisa setiap saat datang.
”Begitulah kehidupan di Kepulauan Seribu. Kami bukan kabupaten kaya, tetapi juga tidak miskin. Kemiskinan di sini tidak permanen,” kata Burhanuddin, Bupati Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
Pada musim angin barat ini, nelayan hidup seadanya. Mereka mengonsumsi ikan yang bisa ditangkap di pantai atau makan ikan asin yang memang dibuat untuk persediaan saat paceklik.
Sebenarnya tidak hanya musim angin barat para nelayan ini kesulitan mendapatkan ikan. Pada saat lain, para nelayan harus berlayar hingga agar mendapatkan ikan yang bagus dan besar. Hal ini disebabkan alam laut tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan masyarakat.
Dengan kondisi yang makin sulit bagi 4.000 nelayan Kepulauan Seribu itu, saat ini Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu pun mulai memikirkan mengubah cara pikir nelayan. Mereka tetap menjadi nelayan karena ini sudah menjadi budaya mereka, tetapi tidak lagi mengandalkan pada alam sepenuhnya. Mereka tak lagi menjadi nelayan tangkap, tetapi menjadi nelayan budidaya atau bekerja di bidang lain yang berkorelasi dengan laut.
Namun, itu tidak mudah. Selain mengubah cara pikir, mereka juga tidak punya modal untuk membangun infrastruktur dan membeli bibit. Pemerintah DKI Jakarta, dalam hal ini dinas kelautan dan pertanian, pun turun tangan. Pemerintah bersedia membangunkan infrastruktur dan menyediakan bibit.
”Kami tidak bermimpi mengubah semua nelayan tangkap menjadi nelayan budidaya. Target kami sekitar 30 persen nelayan, jadi 1.200 nelayan pada tahun 2012,” kata Liliek Litasari, Kepala Subdinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
Tahun 2009, jumlah nelayan budidaya mencapai 500 orang. Sebanyak 150 orang menjadi nelayan budidaya ikan, 200 orang budidaya rumput laut, dan pengelola wisata pantai 150 orang.
”Jumlah ini sudah dirintis sejak tahun 2004. Mudah-mudahan target 1.200 orang nanti tercapai karena nelayan lain sudah melihat hasilnya,” kata Liliek.
Optimisme itu memang patut, mengingat pasar selalu menganga lebar. Produksi yang ada selalu habis diserap. Bahkan, setiap tahun permintaan terus bertambah. Produksi budidaya ikan tahun 2009 tercatat 10 ton dan rumput laut 397 ton. Sedangkan empat perusahaan swasta yang juga melakukan budidaya ikan bandeng, kakap putih, dan bawal bintang memproduksi 5.364 ton.
Pemerintah terus membantu dengan menyediakan bibit murah. Bibit yang disediakan adalah ikan kerapu macan, bandeng, kakap putih, dan rumput laut. ”Bibit yang kami pilih juga jenis ikan yang mahal agar nelayan mendapatkan harga jual yang baik,” kata Liliek.
Idealnya, dinas kelautan dan pertanian ini melakukan sendiri perkawinan ikan, menetaskan, memelihara bibit sampai ukuran 5 cm baru dilempar kepada masyarakat budidaya. Namun, karena sarana, infrastruktur, modal, dan sumber daya masyarakatnya belum bisa, akhirnya yang bisa dilakukan adalah mendatangkan benih ukuran 1-2 cm dari berbagai tempat setelah ukuran 5 cm baru dilepas kepada masyarakat.
Jika panjang bibit masih 5 cm, nelayan boleh ambil gratis. Tetapi, kalau ukurannya lebih dari 5 cm, nelayan harus membeli dengan harga Rp 1.000 per sentimeter. ”Biasanya mereka mengambil kalau bibit ikan sudah berukuran 10 cm. Jadi, harganya Rp 10.000 per ekor ikan ukuran 10 cm,” kata Liliek.
Bibit berukuran kecil masih rentan dan mudah mati. Apalagi sarana di Kepulauan Seribu masih sangat terbatas. Bagi nelayan, lebih mudah merawat bibit berukuran 10 cm.
Merawat bibit sangat sulit. Misalnya saja, bibit ikan kerapu harus sering dicuci dengan air tawar. Dulu, bibit ini bisa dicuci 10 hari sekali. Sekarang, karena kualitas air laut sangat buruk, pencucian bibit ini dengan air tawar harus dilakukan dua kali seminggu. ”Mencucinya dengan air tawar. Sementara air tawar hanya terdapat di beberapa pulau,” ujarnya.
Dengan membeli bibit seharga Rp 10.000 per ekor, para nelayan budidaya ini bisa menjual ikan kerapu macan dengan harga Rp 120.000 per kg. Sementara satu ikan kerapu bisa mempunyai bobot 5-7 ons. Angka ini tentu cukup menggiurkan, apalagi tidak terpengaruh kondisi cuaca. Alternatif mata pencaharian ini tidak saja meningkatkan kehidupan para nelayan, tetapi juga menyelamatkan sumber daya laut dari penangkapan ikan yang dilakukan dengan sembarangan.Sumber (kompas cetak)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar