Plastik termasuk bahan yang sulit untuk diolah kembali, bahkan tak bisa diuraikan. Benarkah daur ulang plastik menghabiskan lebih banyak dana dibanding saat membuatnya?
Pada 1967, McGuire memiliki satu nasihat karir untuk Benjamin Braddock muda, yakni plastik. Dalam 40 tahun sejak ‘kelulusan’ itu, plastik meledak dalam banyak aplikasi, mulai dari bumper mobil hingga komputer, dan diklasifikasikan dalam tujuh jenis.
Termasuk PET #1, jenis yang digunakan untuk botol plastik air dan soda. Kini, pertanyaan yang muncul adalah, apa yang harus dilakukan dengan semua plastik yang ada. Dari 2,7 juta ton botol plastik PET di Amerika Serikat pada 2006, empat per limanya berakhir di pembuangan sampah.
Mengabaikan masalah lingkungan, keberhasilan ekonomi atau kegagalan daur ulang plastik bergantung pada dua variabel. Yakni, biaya bahan baku untuk membuat plastik perawatan, minyak bumi dan gas alam.
Selain itu, biaya daur ulang melawan biaya pembuangan yang berfluktuasi berdasar kedekatan kota dengan pusat daur ulang dan harga untuk membuang di tempat pembuangan sampah lokal juga diperhitungkan.
Hasil studi University of California, Berkeley memperkirakan, wilayah seperti Los Angeles dan San Francisco bisa mendapat manfaat ekonomi sebesar US$200 (Rp 1,7 juta) per ton untuk daur ulang bukan pembuangan.
Meski begitu, biaya daur ulang botol dibanding pembuatannya cukup bervariasi, tergantung tempat botol dan harga minyak yang berubah-ubah. Menurut organisasi lingkungan Earth Policy Institute, tiap tahun, 29 miliar botol plastik air yang diproduksi untuk digunakan di AS.
Membuat botol plastik ini butuh setara 17 juta barel minyak mentah, jadi naiknya harga minyak dan gas alam hanya memperburuk tingginya harga plastik. ‘Plastic News,’ majalah perdagangan, mendaftar harga terbaru botol PET resin pelet antara 83-85 sen (Rp7-7,2 ribu) per pon.
Namun, meningkatnya harga plastik telah sedikit membatasi permintaan. Menurut National Association for PET Container Resources (NAPCOR), pada dua dekade lalu, jumlah plastik PET di AS naik lebih dari dua kali lipat. Peningkatan ini merupakan hasil permintaan lonjakan air kemasan.
Pada 2005, tujuh setengah miliar galon air membanjiri AS, jumlah ini setara jumlah rata-rata air yang mengalir di atas Niagara Falls selama tiga jam. Menurut data pemerintah AS, jumlah air kemasan itu 21 kali lebih banyak dari yang dibutuhkan pada 1976.
Semua plastik ekstra, dan minyak bumi yang digunakan membuatnya termasuk mahal. NAPCOR memperkirakan, 5,5 miliar pon botol PET menyebar di AS pada 2006. Pembuatan begitu banyak botol PET dan stoples dari plastik ini menelan biaya US$4,5 miliar (Rp38,2 triliun) hanya untuk bahan baku, tanpa biaya operasi pabrik produksi botol.
Sebelum bereinkarnasi menjadi industri karpet atau kantong tidur, botol plastik memiliki perjalanan panjang di depannya. Pertama, botol ini masuk fasilitas koleksi untuk diperiksa kontaminannya, seperti batu atau kaca.
Kemudian dicuci dan dipotong menjadi serpihan. Serpihan ini dikeringkan dan dilebur ke dalam lava plastik yang disaring kotorannya dan dibentuk menjadi untaian. Akhirnya, untaian didinginkan dalam air dan dipotong menjadi pelet yang bisa dipasarkan.
Meski begitu, tempat pembuangan sampah (TPA) merupakan tempat peristirahatan terakhir kebanyakan botol. Seolah-olah ini merupakan pilihan yang lebih murah. Namun, TPA mengenakan tarif pembuangan untuk mengimbangi biaya menciptakan, memelihara dan menutup TPA yang bisa sangat mahal dibanding daur ulang.
Hal ini terutama berlaku di daerah-daerah padat penduduk seperti Pantai Timur atau Florida yang memiliki tabel air dangkal. Bahkan menurut editor perdagangan publikasi ‘Plastics Recycling Update’ Jerry Powell, biaya bisa melonjak dari US$ 10 (Rp85 ribu) per ton menjadi lebih dari US$100 (Rp850 riub).
Menurut organisasi non-profit Container Recycling Institute, pada 2005, botol PET senilai US$500 juta (Rp 4,2 triliun) masuk tempat pembuangan sampah. Meningkatnya harga plastik memaksa beberapa perusahaan produk botol, seperti Coca-Cola, berpikir dua kali menggunakan resin plastik yang mahal.
Kini, perusahaan itu bekerja membuat botol yang lebih ringan yang mengandung lebih banyak resin daur ulang, jelas Powell. Botol dibuat menggunakan plastik tipis memiliki kadar resin 30% lebih sedikit dan bergantung pada air atau cairan di dalamnya untuk mempertahankan bentuknya.
Menggunakan lebih sedikit resin per botol bisa berarti penghematan pada bahan baku sekitar US$ 1,5 miliar (Rp 12,7 triliun) per tahun untuk industri pembotolan. Powell menganggap hal ini suatu langkah positif untuk bisnis dan lingkungan. “Hal itu yang kita butuh. Sedikit plastik. Tak hanya daur ulang,” tutupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar