Masuknya "Warren Buffett Canada" bisa mendongkrak kepercayaan pasar pada RIM?
“Saya dan Jim sudah menghadap dewan direksi. Kami menyatakan pada mereka bahwa waktunya untuk mundur sudah tiba,” kata Lazaridis kepada pers.
Dia menjelaskan, ada suatu saat dalam perjalanan setiap perusahaan yang sukses, para pendirinya akhirnya menyadari bahwa mereka harus menyerahkan tongkat estafet ke pemimpin baru agar perusahaan tetap bisa maju.
Meski begitu, mereka menyatakan bahwa perubahan kepemimpinan di RIM merupakan bagian dari suksesi yang sudah direncanakan setahun sebelumnya.
Apapun alasannya, keputusan pengunduran diri tersebut dilakukan setelah RIM mengalami penurunan pangsa pasar yang signifikan, khususnya setahun terakhir.
Sebagai gambaran, di Amerika Serikat, menurut laporan lembaga riset Canalys, tahun 2009 BlackBerry sempat menguasai 53 persen pangsa pasar telepon pintar. Tetapi, pada 2011 menyusut hingga tersisa hanya 13 persen.
Penyusutan itu juga berkontribusi terhadap anjloknya harga saham RIM hingga sekitar 73,77 persen dalam setahun. Dari angka tertinggi di 2011 yang mencapai US$70,54, kini harganya cuma US$16,83 per lembar saham.
Kompetisi Layar Sentuh
Salah satu faktor pemicu sepinya penjualan BlackBerry adalah keberhasilan iPhone, smartphone besutan Apple yang pertamakali muncul pada tahun 2007.
Setahun kemudian, RIM sempat berupaya menghadirkan kompetitornya dalam bentuk BlackBerry Storm. Sayang, produk itu tidak begitu sukses.
Mereka kemudian kembali ke khitah, yakni BlackBerry berkeyboard Qwerty. Dalam berbagai kesempatan, kedua mantan CEO RIM itu menyatakan bahwa fokus mereka pada smartphone Qwerty merupakan faktor pembeda BlackBerry dengan kompetitor.
Tetapi hal tersebut tak berarti mereka tidak berusaha untuk hadir di segmen smartphone yang tengah naik daun itu. Sejumlah upaya lain untuk menghadirkan perangkat layar sentuh juga telah dilakukan. Namun, lagi-lagi mereka tak berhasil meraih perhatian pasar secara signifikan.
Terus menurus digerus oleh Apple di Amerika Serikat, RIM memutuskan untuk fokus ke pasar internasional. Dalam sebuah interview, Jim Balsillie, menyebutkan, RIM memang menghadapi dilema. “Pasar Amerika Serikat terus fokus ke smartphone kelas atas. Padahal di pasar internasional, pertumbuhan RIM sangat pesat. Kami tidak bisa fokus ke dua-duanya secara bersamaan,” ucapnya.
Di sinilah mungkin kesalahan duet Mike Lazaridis dan Jim Balsillie. Fokus ke pasar internasional memang sukses mendongkrak profit jangka pendek mereka. Tetapi, pasar Amerika Serikat tetaplah merupakan trend setter bagi pasar seluruh dunia.
Terbukti, pergeseran dari BlackBerry dan ponsel fitur seperti milik Nokia dan produsen ponsel lain ke arah smartphone layar sentuh seperti milik Apple dan Google Android, menyebar pula ke luar AS.
“Jika RIM ingin tumbuh di Amerika Serikat, mereka perlu punya produk yang lebih baik dibanding iPhone atau Android,” kata James Faucette, analis dari Pacific Crest.
Benar saja. Penggunaan smartphone layar sentuh terus meluas. Popularitasnya meningkat, bahkan sampai membuat pengguna yang ada di segmen utama RIM, yakni kalangan bisnis, ingin menggunakan smartphone layar sentuh untuk bekerja.
Ketika kemudian muncul kebutuhan akan perangkat mobile berlayar sentuh lebih lebar, yakni tablet PC, RIM masih tetap kesulitan menghasilkan perangkat layar sentuh yang fenomenal.
Perangkat layar sentuh Apple dan produsen Android, baik smartphone atau tablet PC, semakin diminati, di pasar internasional sekalipun. BlackBerry PlayBook, yang diandalkan RIM untuk berseteru dengan iPad dan tablet Android, mengalami berbagai kendala sehingga tidak mampu menarik minat pengguna. Tak kunjung mampu memperbaiki kondisi perusahaan, akhirnya kedua CEO RIM itupun mengundurkan diri dari jabatannya.
Indonesia, BlackBerry Nation
Menurunnya minat penggemar BlackBerry di Amerika Serikat ternyata tidak terjadi di semua penjuru Bumi. Di Indonesia misalnya, yang terjadi justru sebaliknya. BlackBerry tetap menjadi primadona dan terus diburu.
Fenomena berikut yang menjelaskan hal itu. Pagi buta, 25 November 2011, ribuan orang berkumpul di depan Pacific Place. Mal itu belum buka, tapi mereka antusias menunggu Bellagio, seri BlackBerry pertama yang diluncurkan perdana di Indonesia, bukan di negara lain di belahan Bumi. Perburuan BlackBerry terbaru itu pun berakhir ricuh seiring membludaknya peminat yang ingin membeli.
Besarnya pasar Indonesia bagi BlackBerry memang sudah tak diragukan lagi. Satu stasiun televisi Kanada, CBC News, bahkan membuat liputan yang mengungkap betapa berjayanya BlackBerry di Indonesia, hingga Indonesia pun mendapat sebutan: BlackBerry Nation.
RIM menyebutkan, jumlah pelanggan BlackBerry di Indonesia terus bertambah dan diperkirakan akan berlipat. Dari sekitar 5 juta pelanggan mereka saat ini menjadi sekitar 9,7 juta pelanggan di tahun 2015.
Coba bandingkan dengan smartphone besutan Apple yang dijual Telkomsel dan XL, operator penyedia perangkat dan layanan untuk iPhone di Indonesia. Sejak beredar secara resmi sekitar 3 tahun terakhir, penggunanya baru mencapai 250 ribu pelanggan. Angka ini jauh di bawah BlackBerry.
Lembaga riset Canalys menyebutkan, tahun 2009, BlackBerry baru menguasai 9 persen pasar smartphone di Indonesia. Di saat yang sama, RIM masih menguasai 53 persen pasar smartphone di Amerika Serikat.
Tahun berikutnya, saat popularitas iPhone dan Android meningkat, RIM tinggal memiliki 35 persen pasar smartphone di AS. Di Indonesia pasarnya malah naik, menjadi 34 persen dari total seluruh pasar telepon pintar.
Jika di 2011 pangsa pasar RIM di AS merosot tinggal 13 persen, di Indonesia BlackBerry malah menggila. Sebanyak 47 persen smartphone yang beredar di negeri ini merupakan perangkat besutan RIM.
Mengapa BlackBerry bisa demikian populer di Indonesia? Pew Research Center, lembaga periset opini konsumen global, pada 20 Desember 2011 lalu mengungkapkan hasil studi mereka terhadap pengguna telepon dan Internet di 21 negara di dunia.
Salah satu temuan mereka, texting, atau berkirim pesan, menyebar luas baik di negara maju ataupun berkembang. Berkirim pesan juga menjadi hal yang kerap dilakukan oleh pengguna ponsel di dua negara termiskin yang disurvei, yakni Indonesia dan Kenya.
Khusus di Indonesia, Pew Research Center menyatakan bahwa hingga 55 persen dari 240 juta penduduk Indonesia, telah memiliki ponsel, dan 96 persen pengguna ponsel di negeri ini gemar saling kirim teks. Indonesia juga merupakan negara di mana penduduknya paling aktif menggunakan situs jejaring sosial dan berinteraksi di dunia maya.
Pada saat yang bersamaan, menurut data World Bank, Indonesia mengalami pertumbuhan penduduk kelas menengah yang cukup tinggi. Negeri ini juga menjadi negara dengan ekonomi terbesar di kawasan Asia Tenggara dan diperkirakan tumbuh 6,5 persen pada tahun 2011 lalu.
Warga kelas menengah ini, yang banyak menggunakan internet dan perangkat telekomunikasi dalam kehidupan sehari-hari mereka, juga gemar berkirim pesan. Dan layanan BlackBerry Messenger yang ditawarkan RIM lewat perangkat mereka, membuat warga kelas menengah di Indonesia sangat terakomodasi kebutuhannya.
Warren Buffett Canada
Hal-hal tersebut mungkin yang menjadi salah satu alasan bagi Prem Watsa, investor ternama di Canada yang dijuluki sebagai “Warren Buffett Canada” untuk justru melipatgandakan kepemilikan sahamnya di RIM dari 11,8 juta saham menjadi 26,85 juta saham.
Watsa, melalui Fairfax Financial Holding Ltd., kini menguasai 5,12 persen saham RIM yang bernilai sekitar US$437 juta, berdasarkan penutupan harga 26 Januari 2012. Watsa juga masuk dalam jajaran direksi RIM
Fairfax menyatakan bahwa pembelian saham RIM merupakan investasi yang sangat menarik karena harga sahamnya jauh di bawah nilai perusahaan dan jumlah pelanggan maupun pendapatan terus menunjukkan peningkatan.
Para analis memperkirakan masuknya Watsa bisa meningkatkan kepercayaan pasar terhadap masa depan BlackBerry pascapengunduran diri duo pendirinya.
“Ini semacam vote of confidence di tengah situasi RIM saat ini. Atau Watsa berpikir ada sesuatu yang dapat digali di perusahaan tersebut,” kata Adnaan Ahmad, analis Berenberg Bank di London, seperti dikutip Bloomberg, 27 Januari 2012.
Dia menambahkan, “Watsa adalah investor yang sangat dihormati. Ia seperti Warren Buffett-nya Canada, dan harga saham RIM harusnya naik.”
Dan harga saham RIM memang naik sekitar 3,5 persen menjadi US$16,83, pada 27 Januari 2012, pukul 9.35 pagi, waktu New York.
"Langkah Watsa memberikan peningkatan sentimen psikologis yang sangat signifikan terhadap RIM,” kata Ian Nakamoto, Direktur Riset MacDougall MacDougall and MacTier Inc. di Toronto, yang mengelola berbagai aset, termasuk saham RIM, bernilai sekitar 4 miliar dolar Canada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda Tentang Artikel diatas?
Silakan komentarnya, Terima Kasih