Pulau itu cocok bagi pengintai nirawak canggih berkemampuan terbang tinggi milik AS
Pesawat mata-mata nirawak milik militer AS
Amerika Serikat tampak kian intensif menajamkan kepentingan keamanannya di Asia Pasifik. Terakhir, muncul kabar Washington tertarik mendirikan pangkalan pesawat pengintai di suatu kepulauan terpencil milik Australia di sebelah barat Samudera Hindia dan, kebetulan, wilayah itu juga terletak di kawasan selatan Indonesia.
Australia mengaku belum menganggap serius minat AS itu. Namun, kalangan pengamat menilai rencana itu, bila diluluskan, bisa kian membuat gusar China, yang merasa mulai "dikepung" AS dan sekutunya di Asia. Pangkalan baru itu juga bisa saja membuat resah negara sekitar, misalnya Indonesia, yang merasa akan diintai secara rutin oleh pesawat AS.
Rencana tersebut kali pertama diembus oleh The Washington Post. Harian Amerika itu mengungkapkan Pentagon (Departemen Pertahanan AS) tertarik dengan Kepulauan Cocos.
Bagi warga Australia, gugusan pulau kecil yang populer disebut Keeling ini tempat menarik untuk berwisata. Pantai pulau itu berpasir putih dan penuh pepohonan kelapa.
Australia mengaku belum menganggap serius minat AS itu. Namun, kalangan pengamat menilai rencana itu, bila diluluskan, bisa kian membuat gusar China, yang merasa mulai "dikepung" AS dan sekutunya di Asia. Pangkalan baru itu juga bisa saja membuat resah negara sekitar, misalnya Indonesia, yang merasa akan diintai secara rutin oleh pesawat AS.
Rencana tersebut kali pertama diembus oleh The Washington Post. Harian Amerika itu mengungkapkan Pentagon (Departemen Pertahanan AS) tertarik dengan Kepulauan Cocos.
Bagi warga Australia, gugusan pulau kecil yang populer disebut Keeling ini tempat menarik untuk berwisata. Pantai pulau itu berpasir putih dan penuh pepohonan kelapa.
Pesona Pulau Cocos
Foto pulau Cocos milik Australia yang berada di sebelah selatan Pulau Sumatra, Indonesia diambil dari stasiun angkasa luar. Foto: NASA
Salah satu gugusan pulau dari pulau Cocos milik Australia tampak dari udara. Sumber: IslandExplorer
Papan selamat datang di pulau Cocos. Pulau milik Australia ini berada di sebelah selatan Pulau Sumatra, Indonesia. Foto: Panoramio/Theodore Rezvoy
Suasana pantai di pulau Cocos milik Australia. Pulau ini berada di sebelah selatan Pulau Sumatra, Indonesia. Foto: Panoramio/Susan Holiday
Pemandangan alam bawah laut pulau Cocos. (Sumber: nathaliegrace.com)
Bagi Pentagon, kepulauan itu cocok menjadi pangkalan baru pesawat pengintai mereka untuk kawasan Pasifik Barat, yang menjangkau Asia Tenggara, Asia Timur serta Australia.
Lokasi gugus pulau karang itu terletak di Samudera Hindia bagian barat, atau berjarak sekitar 3.000 km Australia, dan tak jauh dari Pulau Christmas.
Lokasi gugus pulau karang itu terletak di Samudera Hindia bagian barat, atau berjarak sekitar 3.000 km Australia, dan tak jauh dari Pulau Christmas.
Kepulauan Cocos itu terletak di halaman belakang Indonesia, atau hanya berjarak sekitar 1.000 km dari arah barat daya Pulau Jawa, dan bagian selatan Pulau Sumatera.
The Washington Post mengutip sumber anonim di kalangan pejabat AS dan Australia, mengatakan Kepulauan Cocos tak saja ideal bagi pesawat pengintai konvensional berawak, namun juga bagi Global Hawks. Ini pesawat pengintai nirawak canggih milik AS yang mampu terbang tinggi.
Bahkan Angkatan Laut AS tengah membangun varian baru Global Hawk, yang diberi nama Broad Area Maritime Surveillance Drone atau BAMS. Pesawat ini ditargetkan mulai beroperasi pada 2015.
Belum ada komentar resmi dari Pentagon maupun para pejabat AS menanggapi kabar itu.
Namun, Menteri Pertahanan Australia, Stephen Smith, sudah mengungkapkan munculnya wacana menjadikan Kepulauan Cocos milik Australia sebagai pangkalan militer AS. Australia sendiri masih belum bersikap terkait keinginan AS itu. Pemerintah di Canberra tampaknya mencoba berhati-hati.
Smith, misalnya, mengatakan Australia belum bersedia menindaklanjuti ide itu secara serius. Itu juga tak termasuk dalam rencana Canberra memperkuat hubungan militer dengan AS dalam waktu dekat.
"Kami melihat Cocos berpotensi menjadi lokasi strategis dalam jangka panjang. Namun, itu masih merupakan wacana," kata Smith kepada para wartawan, Rabu 28 Maret 2012, di Canberra, seperti diberitakan Reuters.
Smith mengatakan kendati selama ini memfasilitasi penempatan dan menerima kunjungan pasukan Amerika di wilayahnya, Australia tidak akan membiarkan AS menjalankan sendiri fasilitas militernya tanpa seizin tuan rumah.
Maka, menurut Smith, Kepulauan Cocos tidak masuk dalam prioritas penguatan kerjasama Australia dan AS. Prioritas AS dan Australia saat ini, Smith melanjutkan, adalah menyiapkan penambahan 2.500 pasukan Marinir AS di Kota Darwin secara bertahap mulai tahun ini. Smith menegaskan keberadaan militer AS di kawasan Asia Pasifik berguna "menegakkan perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran."
Sikap Indonesia
Sementara itu, pejabat pertahanan Indonesia tidak risau atas wacana keinginan AS menempatkan pangkalan pesawat pengintai di Kepulauan Cocos, yang tidak begitu jauh dari tanah air.
"Saya kira kita patut menunggu lebih lanjut mengenai perkembangan wacana itu. Namun, bagi kita, tak ada masalah," kata juru bicara Kementerian Pertahanan Indonesia, Brigadir Jenderal Hartind Asrin, saat dihubungi VIVAnews.
Brijen Asrin mengemukakan alasan mengapa Indonesia tak perlu risau soal minat AS membangun pangkalan pesawat pengintai di Kepulauan Cocos itu. "Pertama, Indonesia dan AS telah menerapkan Confidence Building Measures, yang membangun rasa saling percaya satu sama lain. Bahkan belakangan ini hubungan RI dan AS semakin baik," kata Asrin.
Dengan mekanisme CBM itu, dia menepis anggapan AS akan dengan mudahnya memata-matai wilayah Indonesia secara rutin dari pangkalan di Kepulauan Cocos.
Selain itu, lanjut dia, Indonesia memiliki sistem pertahanan udara yang cukup baik. "Jadi kalaupun ada pesawat asing yang melintas tanpa izin, bisa kita kerahkan sistem itu untukintercept [pesawat yang bersangkutan]," kata Asrin.
Indonesia pun sebelumnya juga menyatakan tidak khawatir dengan penambahan pasukan Marinir AS di Darwin, kota di sebelah utara Australia.
"Kami tidak ada masalah sama sekali dengan penempatan Marinir AS di Darwin," kata Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro saat berkunjung ke Canberra, 15 Maret 2012, seperti yang dikutip The Sydney Morning Herald. Menurut dia, AS sudah memberi penjelasan yang memuaskan terkait isu itu.
Pada saat itu, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menambahkan bahwa penempatan pasukan Marinir AS di Darwin itu tidak akan menyebabkan gangguan, bahkan bisa membantu stabilitas di kawasan.
"Indonesia menilai ada potensi manfaat yang dapat dipetik dari keberadaan pasukan itu, yakni dalam menanggapi sejumlah tantangan seperti tanggap bencana alam," kata Natalegawa seperti dikutip Radio Australia.
The Washington Post mengutip sumber anonim di kalangan pejabat AS dan Australia, mengatakan Kepulauan Cocos tak saja ideal bagi pesawat pengintai konvensional berawak, namun juga bagi Global Hawks. Ini pesawat pengintai nirawak canggih milik AS yang mampu terbang tinggi.
Bahkan Angkatan Laut AS tengah membangun varian baru Global Hawk, yang diberi nama Broad Area Maritime Surveillance Drone atau BAMS. Pesawat ini ditargetkan mulai beroperasi pada 2015.
Belum ada komentar resmi dari Pentagon maupun para pejabat AS menanggapi kabar itu.
Namun, Menteri Pertahanan Australia, Stephen Smith, sudah mengungkapkan munculnya wacana menjadikan Kepulauan Cocos milik Australia sebagai pangkalan militer AS. Australia sendiri masih belum bersikap terkait keinginan AS itu. Pemerintah di Canberra tampaknya mencoba berhati-hati.
Smith, misalnya, mengatakan Australia belum bersedia menindaklanjuti ide itu secara serius. Itu juga tak termasuk dalam rencana Canberra memperkuat hubungan militer dengan AS dalam waktu dekat.
"Kami melihat Cocos berpotensi menjadi lokasi strategis dalam jangka panjang. Namun, itu masih merupakan wacana," kata Smith kepada para wartawan, Rabu 28 Maret 2012, di Canberra, seperti diberitakan Reuters.
Smith mengatakan kendati selama ini memfasilitasi penempatan dan menerima kunjungan pasukan Amerika di wilayahnya, Australia tidak akan membiarkan AS menjalankan sendiri fasilitas militernya tanpa seizin tuan rumah.
Maka, menurut Smith, Kepulauan Cocos tidak masuk dalam prioritas penguatan kerjasama Australia dan AS. Prioritas AS dan Australia saat ini, Smith melanjutkan, adalah menyiapkan penambahan 2.500 pasukan Marinir AS di Kota Darwin secara bertahap mulai tahun ini. Smith menegaskan keberadaan militer AS di kawasan Asia Pasifik berguna "menegakkan perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran."
Sikap Indonesia
Sementara itu, pejabat pertahanan Indonesia tidak risau atas wacana keinginan AS menempatkan pangkalan pesawat pengintai di Kepulauan Cocos, yang tidak begitu jauh dari tanah air.
"Saya kira kita patut menunggu lebih lanjut mengenai perkembangan wacana itu. Namun, bagi kita, tak ada masalah," kata juru bicara Kementerian Pertahanan Indonesia, Brigadir Jenderal Hartind Asrin, saat dihubungi VIVAnews.
Brijen Asrin mengemukakan alasan mengapa Indonesia tak perlu risau soal minat AS membangun pangkalan pesawat pengintai di Kepulauan Cocos itu. "Pertama, Indonesia dan AS telah menerapkan Confidence Building Measures, yang membangun rasa saling percaya satu sama lain. Bahkan belakangan ini hubungan RI dan AS semakin baik," kata Asrin.
Dengan mekanisme CBM itu, dia menepis anggapan AS akan dengan mudahnya memata-matai wilayah Indonesia secara rutin dari pangkalan di Kepulauan Cocos.
Selain itu, lanjut dia, Indonesia memiliki sistem pertahanan udara yang cukup baik. "Jadi kalaupun ada pesawat asing yang melintas tanpa izin, bisa kita kerahkan sistem itu untukintercept [pesawat yang bersangkutan]," kata Asrin.
Indonesia pun sebelumnya juga menyatakan tidak khawatir dengan penambahan pasukan Marinir AS di Darwin, kota di sebelah utara Australia.
"Kami tidak ada masalah sama sekali dengan penempatan Marinir AS di Darwin," kata Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro saat berkunjung ke Canberra, 15 Maret 2012, seperti yang dikutip The Sydney Morning Herald. Menurut dia, AS sudah memberi penjelasan yang memuaskan terkait isu itu.
Pada saat itu, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menambahkan bahwa penempatan pasukan Marinir AS di Darwin itu tidak akan menyebabkan gangguan, bahkan bisa membantu stabilitas di kawasan.
"Indonesia menilai ada potensi manfaat yang dapat dipetik dari keberadaan pasukan itu, yakni dalam menanggapi sejumlah tantangan seperti tanggap bencana alam," kata Natalegawa seperti dikutip Radio Australia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda Tentang Artikel diatas?
Silakan komentarnya, Terima Kasih