Lempeng-lempeng benua diyakini terus bergerak, meski secepat pertumbuhan kuku kita
Foto Bumi dari satelit luar angkasa pada 2010
Bagi kalangan awam, prediksi ilmiah sekelompok peneliti geologi dari Universitas Yale, AS, berikut ini tergolong tidak masuk akal. Ramalan mereka bahwa benua-benua besar di muka Bumi akan kembali bersatu sekitar 50-200 juta tahun mendatang dan membentuk "benua super," bagi publik kebanyakan tidak lebih dari bualan yang sulit dicari pembenarannya. Bagaimana mungkin bisa meramalkan gejala alam untuk ratusan juta tahun mendatang? Umur manusia saja tidak sampai ribuan tahun, begitu rata-rata komentar kalangan pembaca begitu VIVAnews pertama kali menyampaikan kabar ini pada 8 Februari 2012, dengan mengutip informasi dari media massa internasional.
Media-media mancanegara mengutip prediksi ini dari Nature, sebuah jurnal ilmiah yang mempublikasi analisis peneliti dari Universitas Yale itu.
Kendati kontroversial dan perlu pendalaman ilmiah lebih lanjut, tim peneliti pimpinan Ross Mitchell itu hakulyakin bahwa benua-benua yang ada sekarang akan membentuk suatu "benua super". Kejadian itu, menurut mereka, sudah pernah terjadi, setidaknya tiga kali dengan rentang waktu ratusan juta tahun.
Melalui penelusuran riset geologi dengan bantuan teknologi komputer, tim peneliti percaya bahwa Amerika dan Eurasia akan bertubrukan di Kutub Utara. Afrika dan Australia pada akhinya akan bergabung juga dengan benua super itu. Tim ilmuwan yakin benua-benua itu terakhir kali menyatu pada 300 juta tahun silam, menjadi sebuah wilayah yang disebut Pangaea.
Bagi mereka, penggabungan kembali benua-benua besar itu sesuatu yang logis. Daratan pada dasarnya bergerak secara konstan saat terjadi aktivitas tektonik di suatu bagian permukaan Bumi atau disebut sebagai lempeng.
Aktivitas ini membentuk daerah-daerah seperti Mid-Atlantic Ridge--yang menjadi lokasi Islandia--dan wilayah-wilayah seperti yang terlihat di lepas pantai Jepang, di mana lempeng-lempeng kecil bersinggungan satu dengan yang lain.
"Lempeng-lempeng benua ini pada dasarnya terus bergerak, mungkin secepat pertumbuhan kuku jari kita," kata Mitchell. "Perkembangannya memang lambat, namun terus bertambah selama ratusan juta tahun," lanjut Mitchell sebagaimana dikutip NPR.
Para peneliti geologi itu yakin bahwa, dalam kurun miliaran tahun, pergeseran lempeng-lempeng kecil itu, secara berkala, juga menggerakkan lempeng-lempeng benua dalam waktu bersamaan. Inilah yang memunculkan hipotesis atas terbentuknya sejumlah benua super bernama Nuna 1,8 miliar tahun lalu, Rodinia pada satu miliar tahun lalu, dan Pangaea 300 juta tahun lalu.
Tim peneliti pun sudah menyiapkan nama baru bila benua-benua besar kembali bersatu, yaitu Amasia. Ini berdasarkan perkiraan bakal bertemunya benua Amerika dan Asia.
Perdebatan teoretis
Menjadi pertanyaan besar: bagaimana proses pembentukan benua super itu? Isu ini terus menjadi perdebatan para ilmuwan selama bertahun-tahun.
Menurut The Christian Science Monitor, setidaknya ada dua teori yang saling bersaing menjelaskan soal benua super. Teori pertama disebut introversi yang berasumsi bahwa lempeng samudera antar benua yang terbentuk ketika benua super meregang dan berpisah, berhenti berpencar. Sedemikian rupa itu terjadi, sehingga tak ada lagi yang membuat benua-benua menyatu kembali dan bergabung membentuk benua super yang lain.
Yang kedua adalah model ekstroversi, yang secara berkebalikan, menganggap bahwa lempeng samudera yang terbentuk ketika sebuah benua super meregang dan terpisah, akan terus berpencar. Benua-benua itu terus bergerak mengapung terpisah, menjauh, dan bertemu di sisi lain planet untuk kemudian melebur menjadi satu.
Tim peneliti Yale sendiri menawarkan model baru, tentang bagaimana benua super terbentuk. Dengan mengukur daya magnetis sampel geologi kuno, para ilmuwan berspekulasi bahwa benua super baru "Amasia" tidak terbentuk di katulistiwa, melainkan di sekitar Kutub Utara.
Mitchell dan sejumlah koleganya mengumpulkan berbagai sampel geologis dan mengukur orientasi magnetisnya. Untuk mengetahui, bagaimana bebatuan menyelaraskan diri dengan kutub magnet Bumi.
Mineral akan kehilangan kemampuan mereka untuk menyelaraskan dengan magnet Bumi pada suhu tertentu, yang disebut suhu Curie--sekitar 1.400 derajat Fahrenheit. Namun, ada sejumlah batuan yang terbentuk dalam suhu ekstrem, hingga suhunya turun ke bawah Suhu Curie sehingga keberpihakan magnetik menjadi terkunci di tempatnya.
Tim Yale juga meneliti sampel batuan kuno, dari berbagai usia. Karena semua batuan akan terorientasi pada kutub bumi, mereka bisa mengaitkan perubahan sejalan dengan gerakan benua. Mereka kemudian menggunakan informasi ini untuk membangun sebuah model baru tentang bagaimana kontinen super terbentuk.
Teori baru, orthoversi menyatakan bahwa benua akan bergerak menuju Kutub Utara, bukan ke arah ekuator atau kembali ke titik awal mereka. Posisi Amasia akan miring 90 derajat dari tempat Pangea dulu berada.
Mereka mengungkapkan perlu penelitian lebih lanjut kapan dan di mana reuni antarbenua itu terbentuk dengan merujuk pada gejala-gejala pertemuan sebelumnya. "Kami cukup familiar dengan konsep Pangaea, namun belum ada data yang cukup meyakinkan untuk menduga bagaimana benua super itu terbentuk," kata Mitchell.
Mengomentari hasil riset mereka, ahli geologi dari Open University, David Rothery, mengatakan penelitian itu dapat memberi pemahaman yang lebih luas kepada publik akan sejarah planet Bumi. "Kita bisa memahami lingkungan di masa lalu dengan lebih baik bila kita tahu persis di mana posisinya," kata Rothery seperti dikutip laman BBC News.
Namun, Rothery tidak ambil pusing ikut menggunjingkan prediksi tim peneliti Yale mengenai terbentuknya kembali Benua Super dalam ratusan juta tahun mendatang. "Sebagai orang Eropa, saya tidak begitu peduli apakah benua-benua itu akan bertemu di Kutub Utara atau apakah Inggris akan tubrukan dengan Amerika di masa yang begitu lama," kata Rothery.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda Tentang Artikel diatas?
Silakan komentarnya, Terima Kasih