Presentase pindah merek lebih tinggi dari mereka yang setia pada satu brand tertentu
Berbagai merek mie instan
Jangan terlalu berharap bahwa “kesetiaan” akan menjadi salah satu bagian dari perilaku konsumen saat ini. Kenyataan di lapangan belum membuktikan bahwa terdapat konsumen yang benar-benar terpaku pada satu merek tertentu.
Fenomena inilah yang disebut dengan brand switching. Sebuah fenomena yang menunjukkan betapa tipisnya garis yang membatasi konsumen untuk berpindah dari satu brand ke brand lainnya.
Dalam riset Kantar Worldpanel Indonesia, sebuah perusahaan riset internasional baru-baru ini menunjukkan, dalam kurun waktu 48 minggu, rata-rata tiap rumah tangga menggunakan 5 merek sampo, 6 merek sabun batang, dan mengonsumsi 5 merek mie instan yang berbeda.
Riset menunjukkan, persentase untuk berpindahbrand cenderung lebih tinggi dibandingkan persentase untuk tetap pada satu brandtertentu. Pada kategori sampo misalnya, terdapat 56 persen kemungkinan bahwa konsumen akan mengganti brand yang mereka beli pada pembelian selanjutnya.
Angka serupa juga ditemukan pada kategori sabun batang, dimana 56 persen kemungkinan konsumen akan berpindah ke merek lain. Tren sebaliknya terlihat pada kategori mie instan, 59 persen diantaranya akan tetap pada satu merek tertentu.
"Data ini tentu bukan merupakan berita baik bagi para manufacturer. Mereka tentu berharap konsumen dapat sebisa mungkin loyal terhadap brand yang mereka usung,"kata General manager Kantar Worldpanel Indonesia, Lim Soonle, Senin 23 Januari 2012. "Namun kenyataannya, konsumen mengganti brand yang mereka gunakan berkali-kali, hampir pada sebagian besar kategori yang ada," katanya.
Ia menjelaskan, hal ini menunjukkan bahwa brand switching merupakan gejala wajar terjadi dalam perilaku konsumen. Walaupun gejala ini tergolong wajar, bukan berarti manufacturerdan retailer harus menyikapinya secara pasif. Langkah-langkah preventif tentu harus dilakukan untuk membuat konsumen lebih terikat pada satu brand.
"Prinsipnya adalah, you can’t stop people leaving your brand – you can only keep attracting them, kita tidak bisa melarang konsumen untuk berpaling ke brand lain, tapi kita hanya bisa membuat mereka tetap tertarik dengan brand kita,"katanya.
Salah satu cara yang paling baik dalam melakukan hal ini adalah dengan membangun brand loyalty pada konsumen. Menyusun strategi dalam membangun brand loyalty pada konsumen tentu akan sangat membantu manufacturer dalam upaya mempertahankan konsumen mereka.
Secara umum, terdapat 3 hal yang mampu mempengaruhi brand loyalty. Pertama, consumer drivers. Kedua, brand drivers, dan ketiga social drivers. Karena itu, strategi dalam upaya membangun brand loyalty tentu harus memperhatikan ketiga hal tersebut.
"Pertama, tentu manufacturer harus memperhatikan alasan pribadi konsumen memilih suatu brand, kemudian melihat dari sudut pandang brand, mengapa sebuah brand banyak dipilih oleh konsumen? Apakah karena reputasi yang sudah tinggi atau karena brandpesaing lainnya sulit ditemukan di pasaran (low availability)," ujarnya.
Faktor terakhir mungkin sudah sangat jelas. Sebagai makhluk sosial, konsumen tentu sangat rentan akan pengaruh peer group ataupun sosial media dalam membentuk loyalitas mereka terhadap suatu merek. Brand yang sering dibicarakan di media atau terlebih jika menjadi “trending topic” di social network seperti Twitter tentu akan mempengaruhi loyalitas konsumen.
Fenomena inilah yang disebut dengan brand switching. Sebuah fenomena yang menunjukkan betapa tipisnya garis yang membatasi konsumen untuk berpindah dari satu brand ke brand lainnya.
Dalam riset Kantar Worldpanel Indonesia, sebuah perusahaan riset internasional baru-baru ini menunjukkan, dalam kurun waktu 48 minggu, rata-rata tiap rumah tangga menggunakan 5 merek sampo, 6 merek sabun batang, dan mengonsumsi 5 merek mie instan yang berbeda.
Riset menunjukkan, persentase untuk berpindahbrand cenderung lebih tinggi dibandingkan persentase untuk tetap pada satu brandtertentu. Pada kategori sampo misalnya, terdapat 56 persen kemungkinan bahwa konsumen akan mengganti brand yang mereka beli pada pembelian selanjutnya.
Angka serupa juga ditemukan pada kategori sabun batang, dimana 56 persen kemungkinan konsumen akan berpindah ke merek lain. Tren sebaliknya terlihat pada kategori mie instan, 59 persen diantaranya akan tetap pada satu merek tertentu.
"Data ini tentu bukan merupakan berita baik bagi para manufacturer. Mereka tentu berharap konsumen dapat sebisa mungkin loyal terhadap brand yang mereka usung,"kata General manager Kantar Worldpanel Indonesia, Lim Soonle, Senin 23 Januari 2012. "Namun kenyataannya, konsumen mengganti brand yang mereka gunakan berkali-kali, hampir pada sebagian besar kategori yang ada," katanya.
Ia menjelaskan, hal ini menunjukkan bahwa brand switching merupakan gejala wajar terjadi dalam perilaku konsumen. Walaupun gejala ini tergolong wajar, bukan berarti manufacturerdan retailer harus menyikapinya secara pasif. Langkah-langkah preventif tentu harus dilakukan untuk membuat konsumen lebih terikat pada satu brand.
"Prinsipnya adalah, you can’t stop people leaving your brand – you can only keep attracting them, kita tidak bisa melarang konsumen untuk berpaling ke brand lain, tapi kita hanya bisa membuat mereka tetap tertarik dengan brand kita,"katanya.
Salah satu cara yang paling baik dalam melakukan hal ini adalah dengan membangun brand loyalty pada konsumen. Menyusun strategi dalam membangun brand loyalty pada konsumen tentu akan sangat membantu manufacturer dalam upaya mempertahankan konsumen mereka.
Secara umum, terdapat 3 hal yang mampu mempengaruhi brand loyalty. Pertama, consumer drivers. Kedua, brand drivers, dan ketiga social drivers. Karena itu, strategi dalam upaya membangun brand loyalty tentu harus memperhatikan ketiga hal tersebut.
"Pertama, tentu manufacturer harus memperhatikan alasan pribadi konsumen memilih suatu brand, kemudian melihat dari sudut pandang brand, mengapa sebuah brand banyak dipilih oleh konsumen? Apakah karena reputasi yang sudah tinggi atau karena brandpesaing lainnya sulit ditemukan di pasaran (low availability)," ujarnya.
Faktor terakhir mungkin sudah sangat jelas. Sebagai makhluk sosial, konsumen tentu sangat rentan akan pengaruh peer group ataupun sosial media dalam membentuk loyalitas mereka terhadap suatu merek. Brand yang sering dibicarakan di media atau terlebih jika menjadi “trending topic” di social network seperti Twitter tentu akan mempengaruhi loyalitas konsumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda Tentang Artikel diatas?
Silakan komentarnya, Terima Kasih